Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Unborn 8.0 Yellow Pointer

Blogger news

Minggu, 08 Mei 2011

Ragam Ilmu






Tanaman Pendeteksi Bom
Ilmuwan Amerika akhir- akhir ini telah mengembangkan tanaman yang bisa mendeteksi bom. Caranya, mereka "mengajari" protein tanaman untuk mengubah warna saat ada unsur kimia tertentu. Penerapan hasil penelitian ini bukanlah hal yang susah, misalnya, tanaman itu bisa digunakan melingkari gerbang keamanan. Saat teroris mendekat dengan bahan peledak, seluruh bagian tanaman tersebut berubah warna menjadi putih.

Daily Mail melaporkan, tanaman itu bekerja karena reseptor protein dalam DNA tanaman secara alami merespon rangsangan ancaman dengan melepaskan unsur kimia bernama terpenoid untuk menebalkan kulit ari daun, akibatnya daun mengubah warna. Penelitian ini dikerjakan oleh Profesor Biologis University of Colorado, June Medford bersama Markas Besar Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, Pentagon. "Tanaman tidak bisa berlari atau bersembunyi dari ancaman, sehingga mereka mengembangkan sistem mutakhir untuk mendeteksi dan merespon lingkungan mereka," kata Profesor Medford.

Para peneliti merancang program komputer untuk memanipulasi mekanisme pertahanan alami
tanaman dengan "mengajari" reseptornya menanggapi unsur kimia bahan peledak serta polutan udara dan polutan air. Reseptor komputer yang didesain ulang tersebut dimodifikasi supaya berfungsi dalam dinding sel tanaman sehingga mereka bisa mengenali polutan-polutan atau bahan peledak dalam udara atau tanah di dekatnya. Tanaman itu mendeteksi senyawa dan mengaktifkan sinyal internal yang menyebabkan hilangnya warna hijau dan mengubahnya menjadi dedaunan putih.

Kemampuan mendeteksi dari
tanaman ini serupa bahkan lebih baik daripada anjing pelacak. Sifat deteksi itu bisa digunakan untuk tanaman apapun dan bisa mendeteksi beberapa polutan sekaligus. Dengan dukungan dari U.S. Defense Threat Reduction Agency, Profesor Medford dan timnya kemungkinan tidak lama lagi akan membawa penemuan mereka ini ke "dunia nyata." Penelitian itu muncul dalam jurnal PLOS ONE.

Sejak Kapan Obat Anti Nyamuk Melingkar? Inilah Sejarahnya
Mungkin diantara anda, ada yang belum tahu sejak kapan bentuk obat nyamuk itu melingkar seperti saat ini. Inilah sejarah singkatnya seperti dimuat dalam detik.com. Meski berbagai jenis obat nyamuk terus dikembangkan, obat nyamuk bakar masih saja bertahan dengan penampilannya yang legendaris. Bentuk spiral pada obat nyamuk paling merakyat itu tidak berubah sejak tahun 1902.
Obat nyamuk bakar atau mosquito coil merupakan dupa dibuat dari bahan pyrethrum yakni serbuk hasil pengeringan bunga Chrysanthenum. Namun saat ini bahan itu digantikan oleh pyrethoid, yakni produk sitesis atau tiruan dari pyrethrum.
Dalam bentuk serbuk, penggunaan pyrethrum sebagai pengusir serangga sudah dikenal di Persia sejak tahun 400 SM dan mulai masuk ke AS dan Eropa pada abad ke-19. Bentuk batangan yang mudah digunakan baru dikembangkan mulai tahun 1890-an oleh seorang pengusaha asal Jepang, Eiichiro Ueyama.
Pyrethrum dicampur serbuk gergaji dan pati sehingga membentuk pasta agar bisa dipadatkan. Karena kebetulan Eichiro juga seorang pengusaha jeruk mandarin, ia menambahkan kulit jeruk yang dikeringkan dalam campuran tersebut agar lebih ampuh mengusir nyamuk.
Dibandingkan bentuk serbuk yang harus dibakar dengan tungku, obat nyamuk buatan Eiichiro sudah lebih mudah digunakan. Namun karena pendek dan tipis, dupa tersebut cepat habis saat dibakar dan asapnya hanya sedikit sehingga harus dibakar 3-4 batang sekaligus agar efektif mengusir nyamuk.
Gagasan untuk membuat bentuk yang lebih tebal dan panjang muncul atas saran Yuki, istri Eiichiro pada tahun 1895. Namun Eiichiro kesulitan untuk memenuhinya, sebab dupa yang panjang tentunya tidak praktis karena akan memakan tempat.
Butuh waktu 7 tahun untuk menemukan bentuk sesuai yang diharapkan. Baru akhirnya pada tahun 1902, ia mulai menemukan ide untuk membuat dupa itu dalam bentuk yang panjang namun tidak memakan tempat yakni coil atau melingkar.
Meski awalnya menggunakan cetakan, bentuk spiral itu juga sempat dibuat dengan melengkungkannya secara manual. Di Jepang, cara manual itu masih bertahan hingga tahun 1957 saat ditemukannya mesin pencetak yang bisa memproduksi obat nyamuk dengan skala industri.

0 komentar: