Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Unborn 8.0 Yellow Pointer

Blogger news

Jumat, 05 April 2013


Menuai Berkah
Oleh : Rofiq Abidin


“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka  berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raaf : 96 )

Anugerah Ilahi terus mengalir untuk kelangsungan hidup kita yang kian hari berkembang tantangannya. Keberkahan tak datang begitu saja, tapi keberkahan adalah efek dari apa yang pernah kita amalkan. Keberkahan hidup mengalir deras manakala kita mau mensyukuri anugerah yang telah ada. Keberkahan bukan hanya berarti melimpahnya harta kita dari hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan, tahun demi tahun, dan seterusnya, karena boleh jadi kelimpahan yang ada itu justru bumerang atas keengganan kita untuk mensyukuri nikmat Allah yang ada. Ada orang merasa telah melimpah hartanya, namun ia tak pernah mengeluarkan kewajibannya (zakat) atau enggan berbagi dengan sesamanya. Ini bukan keberkahan. Pernah saya dengar, bahwa “Aku ini rajin ibadah, rajin sodaqoh tapi gak kaya-kaya, namun si Fulan itu gak pernah sholat, gak pernah sodaqoh, tapi kok hidupnya enak ya, kaya, hartanya melimpah”. Jika kita tela’ah, siapakah diantara kedua orang ini yang mendapat keberkahan?. Jawabnya adalah bukan kedua- duanya, karena syarat mendapat keberkahan adalah beriman dan bertaqwa. Lantas kelimpahan orang yang gak mau bersukur itu apa?. Itu adalah kehendakNya atas ikhtiar yang dilakukannya, namun bukan berarti itu sebuah kebaikan yang bernilai halal. Artinya, memang harta itu diperoleh dengan usaha, namun berkah itu diperoleh karena mengimplementasikan keimanan dan ketaqwaan. Jika harta itu berkah efeknya bukan kepada diri sendiri secara fisik,  namun efek di bathin lebih tenang dan bermanfaat bagi orang-orang yang disekitar kita. Itu bedanya melimpahnya harta tanpa berkah dan melimpahnya harta karena berkah.  Coba kita renungi sejenak peringatan Allah berikut ini :

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am : 44)

Jelas bahwa ternyata ada sebuah kesenangan yang berujung pada siksaan. Coba perhatikan kembali, jika Allah telah mengingatkan hamba-Nya untuk kembali pada jalur keimanan dan ketaqwaan, namun masih bandel saja, maka Allah justru membuka pintu-pintu kesenangan, peluang-peluang bisnis yang menggiurkan dan membawa kepada kesenangan dunia yang semu. Inilah yang kadang dirasakan oleh sebagian manusia yang tidak bersyukur sebagai sebuah ketidakadilan Tuhan. Namun ingat, itu kehendak Allah untuk membiarkannya dalam kesesatan, dalam kegelapan dan dalam kebimbangan sehingga pada akhirnya Allah mengakumulasi kesalahan/dosanya dan Allah memberikan balasan secara tiba-tiba. Jika Allah masih memberikan nafas, berarti masih diberikan kesempatan taubat. Namun jika balasan sekonyong-konyong itu mentiadakan nyawanya, maka rugilah ia serugi-ruginya karena tak sempat bertaubat dan tinggal menunggu siksa di akhirat. Jadi jangan merasa Tuhan itu tidak adil, Allah itu maha teliti, pastilah Allah akan memberikan balasan pada setiap kebaikan dan keburukan.

Beriman dan Bertakwa sebagai Kunci Keberkahan
Kepastian Allah tentang keberkahan yang disampaikan secara eksplisit dalam surat Al A’raaf ayat 96 di atas tentunya memiliki kandungan yang luar biasa. Hanya dengan beriman dan bertaqwa, maka hidup manusia dijamin keberkahannya. Kedengarannya sedikit ringan memang, tapi itulah janji Allah. Nah, sekarang tinggal bagaimana kita memaknai keimanan, ketaqwaan dan keberkahan itu sendiri. Tentu iman bukan hanya cukup bermakna percaya, tanpa aplikasi nyata. Keimanan merupakan akar, landasan dan pijakan yang berdasarkan wahyu. Dalam konteks ini, iman merupakan landasan sikap dalam berikhtiar dan berusaha. Seorang mukmin akan senantiasa menjadikan “prinsip halal” dalam berusaha, ia akan meninggalkan cara dan perihal yang nyata-nyata haram dan masih meragukan sehingga Allah menilai usahanya begitu bersih dan hasil usahanya pun dibersihkan dengan zakatnya, karena ia yakin dengan landasan inilah keberkahan Allah akan terus mengalir. Sedangkan ketaqwaan, tentunya bukan hanya sekedar melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Namun taqwa dalam konteks ini sebuah sikap tegas untuk selalu lurus pada jalan Allah, tak pernah terpikirkan untuk berpaling dari hukum-hukum Allah. Taqwa adalah penegakan dari keimanan, usaha yang dilandasi dengan ketaqwaan bermakna usaha yang selalu lurus dengan jalan Allah, ia tak pernah merasa rugi untuk menegakkan prinsip-prinsip benar yang dilandari dari wahyu Ilahi. Ia akan selalu mencari cara untuk senantiasa menegakkan cara-cara benar, walau terkadang ia harus berhadapan dengan opini ekstrim. Itu adalah bagian dari keteguhan taqwanya. Mungkin keberkahannya tak tampak pada hartanya secara kasat mata, namun kemuliaan disisi Allah dan kemanfaatannya bagi manusia menjadikan ia terus menemukan ketaqwaannya karena sejatinya taqwa adalah mulia di sisi Tuhannya. Keberkahan tak hanya diukur dari melimpahnya harta, namun terjaganya kesehatan, harmonisnya hubungan dengan keluarga dan tercukupinya hidup itu juga keberkahan. Orang boleh bilang apa saja tentang kita, karena memang hidup itu dinilai. Jika kita tetap pada jalur keimanan dan ketaqwaan kita akan mendapat support dari Allah berupa keberkahan. Kita akan diingatkan oleh Allah saat salah, sehingga kita tetap teguh pada jalanpNya. Nah, sebagai mukmin kita harus yakin, karena jika kita mengamalkan Al Qur’an setengah hati, ya hasilnya juga apa yang kita yakini, bahkan bisa lebih buruk, karena keraguan kita terhadap Al Qur’an.

Jadi untuk mengundang berkah dalam hidup kita, menurut saya tak perlu “ngalap berkah” yang bersifat merusak keimanan dan ketauhidan kita. Cukup perkuat iman dan pertajam ketaqwaan. Tapi kalau hanya untuk menjadi kaya, pasti anda telah banyak menemukan teorinya, tinggal keberanian prakteknya. Namun apa cuma kaya tujuan hidup kita, bagaimana dengan akhiratnya. Bagaimana dengan kebahagiaan bathin kita dan bagaimana dengan kelanjutan dakwah kita?. Bukankah akan hina di hadapan Allah jika kita meninggalkan “hablum minalllah dan hablum minannas”. Jadi untuk menjadikan hidup berkah cukup dengan meneguhkan keimanan dan terus meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah, pasti Allah menjamin hidup kita menjadi berkah. Namun jika kita tidak mengindahkan peringatan Allah, maka yang ada justru bukan menuai berkah, tapi menuai siksa. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat 44 di atas. Semoga hidup kita makin berkah dalam makna sesungguhnya dan iman kita makin teguh serta ketaqwaan kita makin meningkat. 

TIDAK WAJIB, ISTRI MASAK UNTUK SUAMI…
Oleh : Abu Ja’far


Addunya mataa' wa khoiru mataa'iha al mar’atush shaalikhah (dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita/ istri yang shalikh ).
Sebuah riwayat di atas menggambarkan bahwa seorang istri yang baik adalah bagaikan perhiasan yang terbaik. Jika kita memandang dari segi sebuah perhiasan, tentu banyak hal yang harus kita lakukan pada perhiasan itu : yaitu menjaga, merawat, tidak menempatkan perhiasan tersebut di sembarang tempat, dan jika perlu dalam kondisi tertentu harus berani menjadi bemper di kala ada suatu hal yang ingin mengganggu, merusak, atau mengambil perhiasan tersebut. Dalam hal ini bermakna, memperlakukan perhiasan haruslah penuh save and care serta penuh memuliakan. Oleh karena itu sama halnya dengan suami dalam memperlakukan istri, harus seperti bagaimana memperlakukan pada sebuah perhiasan yang paling baik, bahkan harus lebih dari itu.
Maka kehidupan dalam berumah tangga, untuk bisa mengamalkan salah satu riwayat di atas, jika istri bagaikan perhiasan terbaik, sebenarnya istri tidak wajib memasak untuk suami karena jika suami bisa memasak mengapa harus menyusahkan istri untuk berpanas- panas di depan kompor, istri juga tidak wajib mencuci pakaian suami karena jika suami bisa mencuci pakaiannya sendiri kenapa harus membuat tangan istri susah payah mencuci apalagi sekarang sudah banyak mesin cuci yang sangat mudah sekali pengoperasiannya. Dan yang tidak kalah pentingnya hari ini adalah bahwa sebenarnya istri tidak wajib bekerja untuk mencari uang/ nafkah, karena yang wajib mencari nafkah adalah suami. Jika ada istri yang bekerja untuk mencari nafkah, peran itu hanya sebagai shadaqah istri untuk meringankan tugas suami. Dan masih banyak lagi contoh peran istri dalam rumah tangga yang masih dianggap itu wajib bagi istri,  padahal tidak. Lalu apa hal yang wajib bagi seorang istri kepada suami? Jawabnya adalah TAAT.
Wallaahu a’lam.

100 Dollar dan Kasih Sayang Ibu - Anak


Dia adalah seorang anak yang terlahir dalam keluarga miskin yang kesusahan, ayahnya wafat pada saat usianya tiga tahun, ibunya mencari nafkah dengan mencuci pakaian orang. Maka dia sadar kalau dirinya harus bekerja keras. Pada usia 18 tahun, dia berhasil masuk perguruan tinggi dengan nilai yang tinggi. Demi mencukupi biaya sekolahnya, ibunya pernah menjual darah, namun dia berpura-pura tidak tahu, sebab takut melukai hati ibunya. Dia sendiri pernah menjual darah secara sembunyi- sembunyi tanpa diketahui ibunya, mengangkut batu sampai tangannya berdarah, juga menjual koran, demi sedikit meringankan beban ibunya.

Pada masa liburan musim dingin tahun kedua, dia pulang ke rumah dan melihat ibunya sedang mencuci pakaian orang dalam cuaca sangat dingin, kedua tangan ibunya sampai pecah- pecah karena kedinginan. Ibunya berkata: “Pekerjaan lain sulit ditemukan, jadi hanya bisa mencuci pakaian, sehelai pakaian upahnya satu dollar, semua ini adalah pakaian orang kaya, mereka takut pakaiannya rusak kalau mempergunakan mesin cuci.”

Hari itu, ibunya menerima upah kerjanya dan berkata dengan gembira: “Anakku, ibu mendapatkan upah 200 dollar.”

Sambil berkata ibunya merogoh kocek, siapa sangka ternyata di dalam koceknya hanya tersisa selembar uang kertas pecahan 100 dollar saja.

Seketika ibunya menjadi panik: “Ibu kehilangan 100 dollar.”

Tanpa berkata banyak, ibunya dengan tergesa- gesa pergi ke luar rumah. Di luar rumah sungguh gelap, angin juga kencang dan turun salju, ibu menelusuri sepanjang jalan pulang tadi untuk mencari uangnya. Ya, 100 dollar itu memang sangat penting baginya. Itu adalah biaya hidup ibunya selama sebulan, itu adalah uang makannya selama sebulan.

Setelah sang ibu ke luar rumah, dia pun mengikutinya ke luar rumah. Di luar sangat gelap, ibunya mempergunakan lampu senter untuk mencari uangnya. Tanpa terasa air matanya mengalir turun.
Benar! Itu adalah upah ibunya mencuci 100 helai pakaian. Dia mencari di halaman rumah, juga mencari di jalan, tetapi tetap saja tidak ditemukan. Jika pun ada, mungkin sudah dari tadi dipungut orang lain.

Ibunya bolak- balik tiga kali untuk mencari uangnya. Dia berkata kepada ibunya dengan hati pilu: “Ibu, tidak usah cari lagi, nanti sesudah hari terang baru kita cari lagi.”

Namun ibunya tetap bersikeras ingin mencari, cahaya dari lampu senter di kegelapan malam seakan menikam lubuk hatinya dan membuat rasa sakit tiada terhingga.

Tiba- tiba dia berinisiatif mengambil 100 dollar dari uang biaya hidup yang diberikan oleh ibunya dan meletakkannya di halaman rumah. Dia beranggapan kalau ini adalah jalan terbaik untuk membebaskan ibunya dari kegalauan.

Dan benar, tidak berapa lama dia mendengar ibunya berkata dengan senang: “Anakku, uangnya sudah ditemukan!”

Dia berlari ke luar dan ikut bergembira bersama ibunya. Dengan gembira ibu dan anak kembali ke dalam rumah. Ibunya berkata: “Anggap saja tidak ditemukan. Mari, ini untukmu! Kamu harus makan yang lebih baik, lihat! kamu terlalu kurus nak.”

Beberapa tahun kemudian, dia lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Dia lalu menjemput ibunya untuk tinggal bersama di kota, sejak itu ibunya tidak perlu lagi mencuci pakaian orang.

Tentang uang kertas pecahan seratus dollar itu, dia tidak pernah merasa rela untuk mempergunakan dan terus disimpannya. Itu adalah uang kertas pecahan seratus dollar yang dicari ibunya semalaman, melambangkan kehangatan dan perasaan penuh kasih.

Setelah beberapa tahun kemudian, dia mengungkapkan hal ini dalam suatu kesempatan, sambil tersenyum berkata kepada ibunya: “Ibu, saya yang menaruh uang kertas pecahan seratus dollar itu di sana”. Namun yang mengejutkannya adalah jawaban ibunya: “Ibu tahu”.

Dengan heran dia bertanya, “Bagaimana ibu bisa tahu?” Ibunya lantas menjawab, “Uang yang ibu dapatkan selalu diberi tanda, ada tulisan 1, 2, 3 di atasnya, sedangkan uang kertas itu tidak ada tandanya, apalagi ditemukan di halaman rumah. Ibu tahu kalau itu adalah uang yang kamu taruh karena khawatir ibu galau, sedih. Dalam hati ibu berpikir, karena anak ibu demikian sayang pada ibu, maka ibu tidak boleh mencari lagi, jikalau sudah hilang dan tidak akan ditemukan lagi, kenapa tidak membuat anak ibu tenang hati saja?”

Dia lalu beranjak memeluk ibunya erat- erat dengan mata berkaca-kaca.

Sungguh ibu dan anak yang bertautan hati, mereka selalu memberikan cinta kasih terhangat satu sama lain. Benar sekali, walaupun miskin, namun dengan adanya cinta kasih berlimpah, maka mereka merupakan orang paling kaya di dunia ini.

Pencarian sehelai uang kertas pecahan seratus dollar dalam kisah ini melambangkan dalamnya kasih sayang antara ibu dan anak.


Para Entrepreneur Termuda di Indonesia (Bag. 1)

Hamzah Izzulhaq (19 tahun)
Pria berumur 19 tahun ini adalah seorang Entrepreneur Muda yang sukses. Pemuda kelahiran Jakarta, 26 April 1993 tersebut memang sudah memiliki bakat bisnis sejak masih kecil, mulai dari menjual kelereng, gambaran, petasan hingga menjual koran. Menjadi tukang parkir serta ojek payung juga pernah dilakukannya. Pada pertengahan Kelas 2 SMA, ia menangkap peluang bisnis lagi. Ketika sedang mengikuti seminar dan komunitas bisnis pelajar bertajuk Community of Motivator and Entrepreneur (COME), Hamzah bertemu dengan mitra bisnisnya yang menawari usaha franchise bimbingan belajar (bimbel) bernama Bintang Solusi Mandiri. “Rekan bisnis saya itu juga masih sangat muda, usianya baru 23 tahun. Tapi bimbelnya sudah 44 cabang”, ujarnya.

Hamzah lalu diberi prospektus dan laporan keuangan salah satu cabang bimbel di lokasi Johar Baru, Jakarta Pusat, yang kebetulan ingin di-take over dengan harga jual sebesar Rp. 175 juta. Dengan hanya memegang modal 5 juta, pengusaha muda lulusan SMAN 21 Jakarta Timur ini melobi sang ayah untuk meminjam uang sebagai tambahan modal bisnisnya. “Saya meminjam 70 juta dari ayah yang seharusnya uang itu ingin dibelikan mobil. Saya lalu melobi rekan saya untuk membayar 75 juta dulu dan sisanya yang 100 juta dicicil dari keuntungan tiap semester. Alhamdulillah, permintaan saya dipenuhi”, ungkapnya. Dari franchise bimbel itu, bisnis Hamzah berkembang pesat. Keuntungan demi keuntungan selalu diputarnya untuk membuat bisnisnya lebih maju lagi.

Kini, Hamzah telah memiliki 3 lisensi franchise bimbel dengan jumlah siswa di atas 200 orang tiap semester. Total omzet yang diperolehnya sebesar Rp. 360 juta/ semester dengan nett profit sekitar Rp. 180 juta/ semester. Sukses mengelola bisnis franchise bimbelnya, Hamzah lalu melirik bisnis kerajinan sofa bed di area Tangerang. Sejak Bulan Agustus 2011, bisnis Hamzah telah resmi berbadan hukum dengan nama CV Hamasa Indonesia. Lulusan SMA Tahun 2011 ini duduk sebagai Direktur Utama di perusahaan miliknya yang omzetnya secara keseluruhan mencapai Rp. 100 juta per bulan.