Menuai Berkah
Oleh : Rofiq Abidin
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (QS. Al A’raaf : 96 )
Anugerah Ilahi terus mengalir untuk
kelangsungan hidup kita yang kian hari berkembang tantangannya. Keberkahan tak
datang begitu saja, tapi keberkahan adalah efek dari apa yang pernah kita
amalkan. Keberkahan hidup mengalir deras manakala kita mau mensyukuri anugerah
yang telah ada. Keberkahan bukan hanya berarti melimpahnya harta kita dari hari
ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan, tahun demi tahun, dan seterusnya,
karena boleh jadi kelimpahan yang ada itu justru bumerang atas keengganan kita untuk
mensyukuri nikmat Allah yang ada. Ada orang merasa telah melimpah hartanya,
namun ia tak pernah mengeluarkan kewajibannya (zakat) atau enggan berbagi
dengan sesamanya. Ini bukan keberkahan. Pernah saya dengar, bahwa “Aku ini
rajin ibadah, rajin sodaqoh tapi gak kaya-kaya, namun si Fulan itu gak pernah
sholat, gak pernah sodaqoh, tapi kok hidupnya enak ya, kaya, hartanya melimpah”.
Jika kita tela’ah, siapakah diantara kedua orang ini yang mendapat keberkahan?.
Jawabnya adalah bukan kedua- duanya, karena syarat mendapat keberkahan adalah beriman
dan bertaqwa. Lantas kelimpahan orang yang gak mau bersukur itu apa?. Itu
adalah kehendakNya atas ikhtiar yang dilakukannya, namun bukan berarti itu
sebuah kebaikan yang bernilai halal. Artinya, memang harta itu diperoleh dengan
usaha, namun berkah itu diperoleh karena mengimplementasikan keimanan dan
ketaqwaan. Jika harta itu berkah efeknya bukan kepada diri sendiri secara
fisik, namun efek di bathin lebih tenang
dan bermanfaat bagi orang-orang yang disekitar kita. Itu bedanya melimpahnya
harta tanpa berkah dan melimpahnya harta karena berkah. Coba kita renungi sejenak peringatan Allah
berikut ini :
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan
yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu
kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang
telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka
ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am : 44)
Jelas
bahwa ternyata ada sebuah kesenangan yang berujung pada siksaan. Coba
perhatikan kembali, jika Allah telah mengingatkan hamba-Nya untuk kembali pada
jalur keimanan dan ketaqwaan, namun masih bandel saja, maka Allah justru
membuka pintu-pintu kesenangan, peluang-peluang bisnis yang menggiurkan dan
membawa kepada kesenangan dunia yang semu. Inilah yang kadang dirasakan oleh
sebagian manusia yang tidak bersyukur sebagai sebuah ketidakadilan Tuhan. Namun
ingat, itu kehendak Allah untuk membiarkannya dalam kesesatan, dalam kegelapan
dan dalam kebimbangan sehingga pada akhirnya Allah mengakumulasi
kesalahan/dosanya dan Allah memberikan balasan secara tiba-tiba. Jika Allah
masih memberikan nafas, berarti masih diberikan kesempatan taubat. Namun jika
balasan sekonyong-konyong itu mentiadakan nyawanya, maka rugilah ia
serugi-ruginya karena tak sempat bertaubat dan tinggal menunggu siksa di
akhirat. Jadi jangan merasa Tuhan itu tidak adil, Allah itu maha teliti,
pastilah Allah akan memberikan balasan pada setiap kebaikan dan keburukan.
Beriman
dan Bertakwa sebagai Kunci Keberkahan
Kepastian
Allah tentang keberkahan yang disampaikan secara eksplisit dalam surat Al
A’raaf ayat 96 di atas tentunya memiliki kandungan yang luar biasa. Hanya
dengan beriman dan bertaqwa, maka hidup manusia dijamin keberkahannya. Kedengarannya
sedikit ringan memang, tapi itulah janji Allah. Nah, sekarang tinggal bagaimana
kita memaknai keimanan, ketaqwaan dan keberkahan itu sendiri. Tentu iman bukan
hanya cukup bermakna percaya, tanpa aplikasi nyata. Keimanan merupakan
akar, landasan dan pijakan yang berdasarkan wahyu. Dalam konteks ini, iman
merupakan landasan sikap dalam berikhtiar dan berusaha. Seorang mukmin akan
senantiasa menjadikan “prinsip halal” dalam berusaha, ia akan meninggalkan cara
dan perihal yang nyata-nyata haram dan masih meragukan sehingga Allah menilai
usahanya begitu bersih dan hasil usahanya pun dibersihkan dengan zakatnya, karena
ia yakin dengan landasan inilah keberkahan Allah akan terus mengalir. Sedangkan
ketaqwaan, tentunya bukan hanya sekedar melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan. Namun taqwa dalam konteks ini sebuah sikap tegas untuk selalu lurus
pada jalan Allah, tak pernah terpikirkan untuk berpaling dari hukum-hukum
Allah. Taqwa adalah penegakan dari keimanan, usaha yang dilandasi dengan
ketaqwaan bermakna usaha yang selalu lurus dengan jalan Allah, ia tak pernah
merasa rugi untuk menegakkan prinsip-prinsip benar yang dilandari dari wahyu
Ilahi. Ia akan selalu mencari cara untuk senantiasa menegakkan cara-cara benar,
walau terkadang ia harus berhadapan dengan opini ekstrim. Itu adalah bagian
dari keteguhan taqwanya. Mungkin keberkahannya tak tampak pada hartanya secara
kasat mata, namun kemuliaan disisi Allah dan kemanfaatannya bagi manusia
menjadikan ia terus menemukan ketaqwaannya karena sejatinya taqwa adalah mulia
di sisi Tuhannya. Keberkahan tak hanya diukur dari melimpahnya harta, namun
terjaganya kesehatan, harmonisnya hubungan dengan keluarga dan tercukupinya
hidup itu juga keberkahan. Orang boleh bilang apa saja tentang kita, karena
memang hidup itu dinilai. Jika kita tetap pada jalur keimanan dan ketaqwaan
kita akan mendapat support dari Allah berupa keberkahan. Kita akan diingatkan
oleh Allah saat salah, sehingga kita tetap teguh pada jalanpNya. Nah, sebagai
mukmin kita harus yakin, karena jika kita mengamalkan Al Qur’an setengah hati,
ya hasilnya juga apa yang kita yakini, bahkan bisa lebih buruk, karena keraguan
kita terhadap Al Qur’an.
Jadi
untuk mengundang berkah dalam hidup kita, menurut saya tak perlu “ngalap berkah”
yang bersifat merusak keimanan dan ketauhidan kita. Cukup perkuat iman dan
pertajam ketaqwaan. Tapi kalau hanya untuk menjadi kaya, pasti anda telah
banyak menemukan teorinya, tinggal keberanian prakteknya. Namun apa cuma kaya
tujuan hidup kita, bagaimana dengan akhiratnya. Bagaimana dengan kebahagiaan
bathin kita dan bagaimana dengan kelanjutan dakwah kita?. Bukankah akan hina di
hadapan Allah jika kita meninggalkan “hablum minalllah dan hablum minannas”. Jadi
untuk menjadikan hidup berkah cukup dengan meneguhkan keimanan dan terus
meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah, pasti Allah menjamin hidup kita
menjadi berkah. Namun jika kita tidak mengindahkan peringatan Allah, maka yang
ada justru bukan menuai berkah, tapi menuai siksa. Sebagaimana yang disebutkan
dalam surat Al An’am ayat 44 di atas. Semoga hidup kita makin berkah dalam
makna sesungguhnya dan iman kita makin teguh serta ketaqwaan kita makin
meningkat.