Menjadi Pahlawan Kejujuran
Oleh : Rofiq
Abidin
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar (QS. Al Ahzab : 70)
Sejak dahulu
hingga kini sebuah sikap “jujur’ banyak dipesankan oleh orang tua kita, guru
kita dan para orang bijak. Melihat fenomena belakangan ini sebuah sikap jujur
menjadi barang mahal, bahkan yang bersikap jujur justru bisa dianggap sebuah kesalahan
dan bahkan kemunduran. Ironis memang, sebuah kebaikan seolah terpojok oleh
sikap-sikap paganisme kejahiliahan. Praktek ketidakjujuran terus menggeliat
dinegeri tercinta ini, mulai dari birokrasi pemeritahan, birokrasi pendidikan, lembaga
kehakiman, bahkan sampai lembaga keagamaan. Sampai-sampai seorang Dahlan Iskan
(mentri BUMN) pernah menyatakan saat memberikan semangat kepada para masasiswa di
Universitas Brawijaya Malang beberapa saat yang lalu, “jika bangsa Indonesia
ingin maju, maka yang harus dibenahi adalah, yang pertama birokrasi, kedua
adalah birokrasi, ketiga adalah birokrasi dan yang keempat adalah birokrasi”. Seorang
pengusaha yang sekaligus pejabat negara ini begitu menyelami bahwa penghambat kemajuan
bangsa yang paling utama adalah birokrasi yang tidak jujur. Sangat beralasan
memang, karena birokrasi Negara Inodonesia ini terkesan begitu njlimet, tidak
transparan, tidak jujur dan penuh intrik. Sebenarnya praktek ketidakjujuran
sudah menjalar kepada berbagai lapisan
masyarakat, karena budaya ini terus menyilaukan iman dengan berbagai
dalih mencari celah pembenaran-pembenaran sikapnya. Dengan semakin kreatifnya
orang untuk tidak jujur, maka kita sebagai mukmin sudah semestiya berdiri tegak
untuk memegang teguh prinsip-prinsip kejujuran, karena Allah telah mengingatkan
para mukmin untuk tetap bertawakal dengan sekuat hati dan tenaga serta berkata
jujur ditengah-tengah budaya negatif ketidakjujuran.
Ketidakjujuran Menjadi Tren dan Budaya
Ditengah-tengah
dekadensi moral bangsa ini, maka sebagai muslim hendaklah tidak terkontaminasi
dengan budaya-budaya tidak jujur. Karena ketidakjujuran itu membawa
kemudharatan, mengandung kekecewaan dan menimbulkan perselisihan. Predikat bagi
yang jujur pada saat ini memang terkadang memekakkan telinga, misalnya saja
“sok suci”, sok oposisi, tidak bisa diajak kerjasama atau bahkan “sok
pahlawan”. Bagi yang imannya terjaga rapi, ia akan tetap teguh, namun bagi yang
tipis imannya maka ia akan goyah. Ditambah lagi dengan persepsi, “ini sudah
zamannya”, jika kita tidak mengikuti kita akan tertinggal. Astagfirullah,
sebuah pola pikir jahiliyah yang seolah-oleh didukung secara massal. Coba kita
ambil hikmahya dari kisah seorang anak bernama Alifa Ahmad Maulana (Alif) dan
Ibunya Siami berani mengungkap contek
massal di SDN Gadel II di Surabaya, ia jurtru mendapat tekanan dari teman dan orang
tua teman-temannya yang merasa dirugikan. Ini membuktikan bahwa seolah-olah ketidakjujuran
telah mendapat legitimasi baik, demi sebuah nilai dan kelulusan. Konon kabarnya
ketidakjujuran dilembaga pendidikan sudah bukan menjadi rahasia umum, mulai
dari bocoran jawaban, penyuapan saat pendaftaran di sejumlah kampus ternama,
samapai membeli sebuah ijazah. Sedemikian bobrokkah negeri ini?. Tindakan jahiliah bukanlah tindakan orang
yang tak berpengetahuan, namun tindakan bodoh yang dilakukan oleh kaum
intelek/berpengetahuan, ia tahu tindakannya salah dan berdampak negatif bagi
dirinya, namun ia tidak mau jujur serta tetap melakukannya. Maka
berhati-hatilah dengan berbagai macam praktek ini, karena Allah sudah
mengingatkan bagi para mukmin untuk tetap bertawakal dan berkata dengan
perkataan yang benar.
Kejujuran Membawa Kebaikan
Jujur pasti
mujur, bisakah ungkapan bijak ini berlaku dimasa sekarang ini?. Bagi sebagian
kita mungkin akan mengatakan nonsense, namun bagi para sidiqin, jujur adalah kunci
keberkahan. Jujur akan banyak membawa manfaat dalam kehidupan, karena sikap
jujur melahirkan sikap berikut ini :
1. Amanah
Saat kita berlaku dan bersikap jujur, kita
telah menggandeng sifat amanah, karena orang jujur bearti ia telah menjadi
pribadi yang dapat dipercaya dan pribadi yang memiliki kepercayaan diri yang begitu kuat. Orang jujur pasti akan
berusaha bertanggung jawab penuh dengan pekerjaan dan tugas yang diemban. Karena
ia tahu bahwa kejujurannya merupakan sesuatu yang sudah semestinya dilakukan,
bukan karena paksaan dan bukan karena tekanan.
2.
Adil
Biasanya jujur gandeng dengan adil, sebuah
harapan ummat bagi pemimpin yang
memiliki sifat dan tindakan jujur dan adil. Seorang yang berlaku jujur
tidak bisa menerima ketidakadilan, ia akan selalu merasa jika ada yang tidak
adil dari tindakan dan keputusannya serta lingkungannya. Dengan kejujuran
hatinya ia akan terus berusaha mengubahnya. Maka jika rakyat ingin pimpinan
yang adil, carilah terlebih dulu pimpinan yang jujur.
3.
Qona’ah
Seorang yang jujur bukan berarti tidak mau
uang, tapi ia akan lebih lega memuaskan bathinnya dengan sikap jujur daripada
menggenggam uang yang tidak jelas hukumnya, bahkan nyata-nyata haram. Orang
jujur akan mudah bersyukur, ia tidak terkontaminasi dengan intrik-intrik tidak
halal yang menggodanya untuk berbuat kejahatan. Ia akan menerima keputusannya
untuk bersikap jujur, walaupun mungkin terkesan hidupnya tidak
bermewah-mewahan. Ia benar-benar menemukan kepuasan bathin pada sifat dan
sikapnya jujurnya, karena jujur membawanya pada qona’ah, tidak boros dalam
kehidupan.
Bertahan dalam Kejujuran
Satu-satunya
manusia yang layak mendapat nobel kejujuran adalah “Muhammad SAW”. Gelar Al-amin
yang disandangnya membuktikan bahwa ia telah diakui oleh masyarakat sekitar
sebagai orang yang benar-benar jujur. Bahkan hingga kini ajaran Rasulullah SAW
tentang jujur begitu banyak kita temukan dalam hadistnya. Coba kita ingat, saat
seorang pencuri ingin masuk islam, Rasulullah SAW memberikan syarat kepadanya
untuk tidak berbohong. Sehingga setiap ia mau mencuri ia ingat dengan pesan
Rasulullah agar tidak bohong, iapun batal mencuri. Hingga akhirnya ia merasa
tidak bisa bersembunyi untuk berbuat mencuri, karena Allah selalu mengawasi dan
tentunya hati nuraninya selalu memprotesnya. Sebuah radar yang senyatanya
mengawasi jujur dan tidaknya kita adalah nurani. Karena orang yang melakukan
ketidakjujuran senantiasa diprotes oleh hati nuraninya, ia senantiasa memberi
sinyal bahwa sikap dan tindakannya itu salah, namun terkadang tertutupi oleh
keegoan, kesombongan dan kepuasan semu. Jadi untuk bertahan dengan sikap jujur pertama
dibutuhkan keyakinan bahwa sikap jujur pasti membawa kebaikan. Selanjutnya untuk
bertahan dengan sikap jujur, maka kita perlu mengingat kepuasan hati ada saat
kita mengikuti kata hati (kejujuran). Dengan jujur pula kita akan mendapat
rahmat Allah, karena Allah ridho dengan orang-orang yang sidiq fil qolbi (jujur
dalam hati), sidiq fil lisan (jujur dalam perkataan) dan sidiq fil arkan (jujur
dalam perbuatan). Saya rasa tiga alasan utama inilah yang menjadikan seorang
mukmin mutlak untuk bersikap jujur. Kita jujur bukan untuk menjadi pahlawan,
namun kita jujur karena sudah semestinya untuk berlaku dan bertindak demikian.