Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Unborn 8.0 Yellow Pointer

Blogger news

Senin, 16 April 2012

Pesan Ilahiyah


Memilih Takdir

"Sucikanlah nama Tuhanmu
Yang Maha 
Tinggi, yang menciptakan 
(semua mahluk) dan 
menyempurnakannya,
yang memberi takdir 
kemudian memberikan 
petunjuk (mengarahkannya).
 (QS. Al  A’la 1-3)
 
 Membicarakan masalah takdir dari meja ke meja tak akan pernah ada habisnya, karena perihal yang satu ini adalah perihal yang tampak rumit dan bisa menimbulkan perdebatan yang kontraproduktif, namun jangan sampai mengurangi keyakinan kita pada Rukun Iman yang keenam yakni beriman kepada qadha’ dan qadar. Pada zaman Rasulullah SAW keyakinan tentang takdir sangat kokoh dan Rasullah SAW tetap melakukan ikhtiar dan mengajak umatnya menyingsingkan baju untuk berusaha meraih takdir terbaik. Dalam perangpun juga masih perlu melakukan perjuangan untuk mendapatkan kemenangan, tidak semata-mata meyakini takdir, lantas kemudian pasrah apa adanya dalam berjuang. Pemahaman tentang qadha’ dan qadar sangat tepat pada zaman Rasullah karena mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah SAW. Kata takdir (taqdir) berasal dari kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi penilaian atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah menakdirkan demikian, "maka itu berarti," Allah telah memberi penilaian / ukuran / batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya. Pada dasarnya Allah telah menetapkan rumus-rumus kehidupan secara global, inilah yang disebut “qadha’, seperti setiap manusia pasti mati. Adapun qadar adalah rumusan-rumusan Ilahi secara rinci, seperti manusia akan mati seperti apa dan bagaimana. Jadi qadha’ dan qadar adalah sistem Allah yang dibuat yang berlaku di dunia ini pada siapapun dan apapun. Hanya kita sebagai manusia dipersilahkan untuk memilih taqdir, mau beriman silahkan, mau ingkar juga bias, masing-masing ada taqdir-Nya. Allah menghendaki kita memilih taqdir yang terbaik buat kita. Sedangkan alam raya ini tidak bisa memilih Taqdir-Nya. Mari kita tela’ah firman Allah berikut ini :
 
dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (takdir)
Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.Dan telah Kami tetapkan bagi 
bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah 
yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua (QS. Yaa Sin : 38-39)
 
Alam raya ini hanya mengikuti takdir Allah yang telah ditetapkan 
oleh Allah tanpa bisa memilih, karena satu yang tidak dimilikinya 
namun dimiliki oleh manusia, yakni “akal”
 yang dalam Q.S 16:78 meliputi pendengaran, penglihatan dan perasaan. 
Jadi matahari dan bulan berjalan sebagaimana garis edarnya, 
itulah rumusan Allah yang telah ditetapkan untuknya. 
 
Rumus Ilahiyah 
Jika kita bicara rumus maka ia adalah sesuatu cara yang pasti dalam menentukan suatu nilai tertentu. Nah, takdir adalah rumus-rumus Allah yang telah dirancang berdasarkan ukuran-ukuranNya yang pasti adil dan pasti akurat. Alam semesta ini sengaja Allah hamparkan di muka bumi ini agar kita bisa memilih dan menemukan taqdir yang terbaik untuk kita. Pilihan rezeki terbaik, jodoh terbaik, karir terbaik, kesejahteraan terbaik, nasib yang terbaik dan lain-lain  haruslah tetap melalui usaha bukan menunggu datang, nanti Allah yang akan mengevaluasi usaha kita dan mengarahkan kita pada takdir terbaik kita. Kalau boleh saya gambarkan takdir itu seperti seperangkat komputer. Rumusan-rumusan Allah yang telah tertulis itu adalah softwarenya, ikhtiar dan tawakal kita adalah gerakan tangan kita yang mengotak-atik keyboardnya dan otak kita yang mengatur keputusan memilih tombol yang mana, selanjutnya Allah mengevaluasi ikhtiar kita dan diputuskanlah takdir kita. Jadi Komputer ini tidak akan bermakna apa-apa manakala tidak ada gerakan dari tangan kita dan otak kita yang memilih sesuai ilmu dan kebijakan kita. Boleh jadi kita telah berusaha menggerakkan langkah dan memfungsikan otak kita dengan maksimal, namun ada evaluasi Allah yang menghendaki kita untuk tidak mendapatkan nilai yang kita harapkan, itupun juga yang terbaik dari ketentuan Allah yang diputuskan kepada kita, karena Allah punya pertimbangan sendiri, karena Allah maha berkehendak. Mungkin saja, niat kita kurang ikhlas, kita melupakan do’a atau mungkin usaha kita ternyata melenceng dari rumusan Allah, padahal kita merasa sudah tepat. Itu adalah bagian dari proses dan evaluasi Allah terhadap ikhtiar kita, jika kita tetap sabar dan tawakal maka Allah akan melipatgandakan hasilnya di kemudian hari, yang pasti semua hasil takdir itu adalah yang terbaik untuk kita, karena Allah Maha Adil.

Memilih Takdir Terbaik
Hidup adalah pilihan, keadaan kita hari ini adalah efek dari pilihan-pilihan kita kemarin. Jadi tak perlu terlalu dalam menyesali pilihan salah dari sikap kita pada masa lalu, yang perlu adalah mengambil hikmah dari pilihan kita kemarin, selanjutnya menetapkan sikap pada hari ini, demi masa depan takdir kita selajutnya. Hanya kepada Alah tempat bergantungnya harapan, kita harus tetap mengedepankan ikhtiar dan tawakal dan kita juga bebas memilih cara apa untuk mencapai takdir yang kita harapkan. Namun hasil tetap di tangan Allah sesuai rumusan-rumusan yang telah ditetapkan dan evaluasi-evaluasi adil-Nya terhadap cara-cara kita. Jika kita muslim maka pakailah cara-cara islami, karena itu akan membawa ketentraman bagi bathin kita dan keberkahan hidup, pun juga akan berefek di akhirat nantinya. Banyak pilihan-pilihan yang terhampar di muka bumi, banyak cara-cara yang berseliweran muncul di benak kita untuk mendapatkan takdir kita, namun cara-cara itu sendiri juga ada rumusannya, apakah cara halal ataukah cara haram, itu juga pilihan takdir, kita yang memilihnya. Pada dasarnya kita telah diberikan kadar dalam memilih, karena Allah memberikan kita beban sesuai kesanggupan kita, namun terkadang kita menerjangnya dengan memilih cara salah (menurut rumusan Allah) yang mengakibatkan kita seakan tidak kuat, nah di sinilah perlunya kita mengimani “qadha dan qadar”, semuanya sudah diatur dalam rumus takdir. Bukannya sudah tertulis kesialan kita, tapi ada evaluasi Allah yang mengharuskan kita menerima ujian itu. Boleh jadi Allah hendak menaikkan derajat kita dengan menunda takdir kepada kita, atau boleh jadi ada maksud Allah untuk menyelamatkan kita, karena Allah sayang kepada kita, jadi berprasangka baik saja kepada Allah, itulah sikap bijak mukmin yang benar-benar mengimani Rukun Iman yang keenam yakni “iman kepada qadha’ dan qadar”. Mari kita hayati Pesan Allah berikut ini :

"Allah telah menetapkan untuk segala sesuatu kadarnya" (QS Al-Thalaq [65]: 3)
 
Jelas bahwa Allah telah membuat ukuran/ kadar kemampuan atau yang bisa kita sebut takdir. Takdir/ kadar kemampuan kita telah diukur, kadar pilihan kita juga menjadi penentu nasib kita, karena Allah akan mengarahkan kita setelah kita mau melakukan gerakan perubahan terhadap nasib kita, jika tidak adanya tindakan, Allahpun juga telah menetapkan takdir pada kita, yaitu tidak mendapat apa-apa, lha wong kita gak berbuat, mana mungkin kita dapat?

Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mau mengubahnya sendiri (QS. Ar Radu : 12)

Jadi pilihlah takdir kita, Allah yang akan mengarahkan kita, mengevaluasi ikhtiar kita dan syukurilah hasil takdir kita yang telah ditetapkan oleh-Nya. Namun ingatlah bahwa dalam memilih takdir itu terhampar banyak cara, tapi tetap ada dua dalam rumusan-Nya, ialah cara yang halal atau cara yang haram. Pilihlah cara yang halal, cara Islami karena itu akan membawa kita kepada nilai kebahagiaan yang hakiki yakni ketenteraman hati dan kesenangan di akhirat nanti. Kiranya demikian ikhtiar penulis, semoga bermanfaat dan apabila ada kesalahpahaman dalam penulisan, marilah kita ambil nilai positifnya agar kita dapat tetap mengimani “qadha’ dan qadar” yang telah Allah tetapkan bagi kita, bagi alam dan kehidupan ini.
 
 
 

Cindera Hati


Kisah Bantal Labu Pembuat Bahagia
 Di sebuah pinggir jalan raya, tampak dua pengemis cilik sedang meminta sedekah, “Paman dan bibi yang baik hati, kasihanilah kami.”
Pengemis yang lebih tua berkata kepada adiknya, “Adik, apakah kita seumur hidup akan menjadi pengemis seperti ini?”
“Kak, jangan berkata begitu, asalkan kita rajin, tentu akan menemukan kebahagiaan”, jawab sang adik.
Mereka berjalan terus hingga bertemu dengan seorang petani yang sedang mengerjakan sawahnya, sang kakak bertanya pada petani tersebut, “Paman, tahukah Anda di manakah letak kebahagiaan?”
Sang petani menjawab, “Mulai dari sini teruslah berjalan ke depan, kalian akan melihat buah labu yang besar, asalkan kalian mengambilnya dan menggunakannya sebagai bantal maka kalian akan merasa bahagia”.

Setelah mengucapkan terima kasih, mereka melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan sang kakak mengomel, “Aku tidak percaya pada omongan paman petani itu, mana ada urusan sesederhana itu”.
“Kak, sekarang ini kita keliling ke segala penjuru tidak tahu arah mana yang dituju, tidak ada salahnya kita mencoba mengikuti petunjuk paman petani tadi”, adiknya pun terus menarik- narik tangan si kakak.
Si kakak masih mengeluh, “Aku sangatlah lapar, sudah tidak sanggup berjalan lagi”.

Di saat mereka duduk dengan kelelahan dan kelaparan yang sangat, lewatlah seorang bibi yang memandang mereka dengan iba.
Bibi itu berkata, “Kalian berasal dari mana?”
Sang adik bertanya pada bibi tersebut, “Bibi yang baik hati, tahukah anda di mana letak buah labu yang bisa membuat bahagia?”
Sang kakak juga berkata, “Bibi, kami adalah dua anak yatim piatu yang sedang kelaparan, mohon Bibi sudi memberikan kami sedikit makanan.”
Si bibi berkata, “Kalian seperti anakku yang telah meninggal, ikutlah aku pulang, aku akan memberi kebahagiaan pada kalian.” Mereka berdua tentu saja sangat gembira, langsung saja memanggil ibu pada bibi tersebut.

Sepuluh tahun kemudian, kedua pengemis itu telah tumbuh dewasa, tetapi karakter mereka berdua sangatlah berlawanan. Suatu hari saat makan, sang adik berkata pada kakaknya, “Kak, kalau makan, janganlah boros.”
Sang kakak menjawab dengan nada tidak senang, “Kenapa kamu selalu mencampuri urusanku? Sekarang ibu sudah meninggal, saya mau melakukan apapun yang kusuka.” Sambil berkata demikian, dia membuang sepotong paha ayam ke lantai.
Suatu senja, sang adik membaca buku, kemudian merenung sejenak, “Tinggal di sini memang sangat nyaman, makan tidur semua terjamin, tetapi aku tidak merasakan kebahagiaan.”
Tiba-tiba dia teringat perkataan si petani itu, “Oh iya.., labu, saya akan menanam labu!” Segera si adik menanam bibit labu, ketika labu telah tumbuh besar, dia memotongnya dan menjadikan sebagai bantal tidur, berharap mendapat kebahagiaan. Tapi sang adik tidak bisa tidur nyenyak dengan bantal barunya, “Aduh, kepalaku tergelincir jatuh lagi, mengunakan labu sebagai bantal sungguh tidak dapat tidur nyenyak. Baiklah, karena sudah terlanjur bangun, saya akan mulai bekerja.”

Karena tidak tahan dengan kelakuan sang kakak yang rakus dan malas, suatu malam si adik meninggalkan rumah.

Berkat kerajinan sang adik, dia tidak hanya mampu membeli tanah, namun juga telah mempersunting istri dan membeli rumah kecil. “Suamiku, bantalmu sungguh aneh”, kata si istri.
Si suami menjawab, “Oh, ini bantal labu. Saya telah terbiasa mengunakannya untuk tidur. Yah..saya mengerti sekarang.”
Si istri terkaget, “Apanya yang dimengerti?”
Suami menjelaskan, “Sekarang saya mengerti, waktu kecil, saya pernah bertemu dengan seorang petani yang mengatakan tidur beralaskan labu akan mendatangkan kebahagiaan. Saya sekarang sangat bahagia, bukankah berkat tidur dengan bantal labu ini kan.”
Si istri pun tersenyum. Tidur dengan bantal labu membuat orang tidak dapat tidur nyenyak sehingga lebih rajin bekerja. Kebahagiaan didapat berkat rajin bekerja.
Sepasang suami istri sepakat untuk berderma menolong fakir miskin agar dapat berbagi kebahagiaan yang didapat dari bantal labu pada mereka. Sedang sang kakak yang rakus namun malas bekerja, setelah menghabiskan semua harta yang ada menjadi orang yang tidak mempunyai apapun lagi.

Jejak Risalah


MENGUAK JEJAK KEDOKTERAN ISLAM
`’Ilmu kedokteran tak lahir dalam waktu semalam,” ujar Dr Ezzat Abouleish MD dalam tulisannya berjudul Contributions of Islam to Medicine. Studi kedokteran yang berkembang pesat di era modern ini merupakan puncak dari usaha jutaan manusia, baik yang dikenal maupun tidak, sejak ribuan tahun silam.
Cikal bakal ilmu medis sudah ada sejak dahulu kala. Sejumlah peradaban kuno, seperti Mesir, Yunani, Roma, Persia, India, serta Cina sudah mulai mengembangkan dasar-dasar ilmu kedokteran dengan cara sederhana. Orang Yunani Kuno mempercayai Asclepius sebagai dewa kesehatan. Pada era ini, menurut penulis Canterbury Tales, Geoffrey Chaucer, di Yunani telah muncul beberapa dokter atau tabib terkemuka. Tokoh Yunani yang banyak berkontribusi mengembangkan ilmu kedokteran adalah Hippocrates atau `Ypocras’ (5-4 SM). Dia adalah tabib Yunani yang menulis dasar-dasar pengobatan. Selain itu, ada juga nama Rufus of Ephesus (1 M) di Asia Minor. Ia adalah dokter yang berhasil menyusun lebih dari 60 risalat ilmu kedokteran Yunani. Dunia juga mengenal Dioscorides. Dia adalah penulis risalat pokok-pokok kedokteran yang menjadi dasar pembentukan farmasi selama beberapa abad. Dokter asal Yunani lainnya yang paling berpengaruh adalah Galen (2 M). Ketika era kegelapan mencengkram Barat pada abad pertengahan, perkembangan ilmu kedokteran diambil alih dunia Islam yang tengah berkembang pesat di Timur Tengah. Menurut Ezzat Abouleish, seperti halnya lmu-ilmu yang lain, perkembangan kedokteran Islam melalui tiga periode pasang-surut.
Periode pertama dimulai dengan gerakan penerjemahan literatur kedokteran dari Yunani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Pada masa ini, sarjana dari Syiria dan Persia secara gemilang dan jujur menerjemahkan litelatur dari Yunani dan Syiria kedalam bahasa Arab. Buah pikiran para tabib di era Yunani Kuno secara gencar dialihbahasakan. Adalah Khalifah Al-Ma’mun dari Diansti Abbasiyah yang mendorong para sarjana untuk berlomba-lomba menerjemahkan literatur penting ke dalam bahasa Arab. Khalifah pun menawarkan bayaran yang sangat tinggi, berupa emas, bagi para sarjana yang bersedia untuk menerjemahkan karya-karya kuno. Sejumlah sarjana terkemuka ikut ambil bagian dalam proses transfer pengetahuan itu. Tercatat sejumlah tokoh seperti, Jurjis Ibn-Bakhtisliu, Yuhanna Ibn Masawaya, serta Hunain Ibn Ishak ikut menerjemahkan literatur kuno. Selain melibatkan sarjana-sarjana Islam, tak sedikit pula dari para penerjemahan itu yang beragama Kristen. Mereka diperlakukan secara terhormat oleh penguasa Muslim.
Proses transfer ilmu kedokteran yang berlangsung pada abad ke-7 dan ke-8 M membuahkan hasil. Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu pesat. Sejumlah RS (RS) besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam, RS tak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru. Tak heran, bila penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu medis baru. Era kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan berpengaruh di dunia kedokteran, hingga sekarang. `’Islam banyak memberi kontribusi pada pengembangan ilmu kedokteran,” papar Ezzat Abouleish.
Sekolah kedokteran pertama yang dibangun umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon.
Al-Razi (841-926 M) dikenal di Barat dengan nama Razes. Pemilik nama lengkap Abu-Bakr Mohammaed Ibn-Zakaria Al-Razi itu adalah dokter istana Pangeran Abu Saleh Al-Mansur, penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi dokter kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Salah satu buku kedokteran yang dihasilkannya berjudul ‘Al-Mansuri’ (Liber Al-Mansofis). Ia menyoroti tiga aspek penting dalam kedokteran, antara lain; kesehatan publik, pengobatan preventif, dan perawatan penyakit khusus. Bukunya yang lain berjudul ‘Al-Murshid’ dan ‘Al-Hawi’. Buku yang terdiri dari 22 volume itu menjadi salah satu rujukan sekolah kedokteran di Paris. Dia juga menulis tentang pengobatan cacar air.
Tokoh kedokteran lainnya adalah Al-Zahrawi (930-1013 M) atau dikenal di Barat Abulcasis. Dia adalah ahli bedah terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di Universitas Cordoba. Dia menjadi dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman III. Sebagain besar hidupnya didedikasikan untuk menulis buku-buku kedokteran dan khususnya masalah bedah. Salah satu dari empat buku kedokteran yang ditulisnya berjudul, ‘Al-Tastif Liman Ajiz’an Al-Ta’lif’ – ensiklopedia ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku itu digunakan di Eropa hingga abad ke-17. Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk mengendalikan pendarahan. Dia juga menggunakan alkohol dan lilin untuk mengentikan pendarahan dari tengkorak selama membedah tengkorak. Al-Zahrawi juga menulis buku tentang tentang operasi gigi. Dokter Muslim yang juga sangat termasyhur adalah Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M). Salah satu kitab kedokteran fenomela yang berhasil ditulisnya adalah Al-Qanon fi Al- Tibb atau Canon of Medicine. Kitab itu menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang berisi satu juta kata. Hingga abad ke-17, kitab itu masih menjadi referensi sekolah kedokteran di Eropa.
Tokoh kedokteran era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M). Dokter kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi sarjana di di Eropa. Kontribusinya dalam dunia kedokteran tercantum dalam karyanya berjudul ‘Al- Kulliyat fi Al-Tibb’ (Colliyet). Buku itu berisi ramngkuman ilmu kedokteran. Buku kedokteran lainnya berjudul ‘Al-Taisir’ mengupas praktik-praktik kedokteran. Nama dokter Muslim lainnya yang termasyhur adalah Ibnu El-Nafis (1208 – 1288 M). Ia terlahir di awal era meredupnya perkembangan kedokteran Islam. Beberapa nama dokter Muslim terkemuka yang juga mengembangkan ilmu kedokteran antara lain; Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang dokter yang terkemuka di Spanyol; Ibnu Tufails tabib yang hidup sekitar tahun 1100-1185 M; dan Al-Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi tumbuh-tumbuhan dari Spanyol dan Afrika.
Setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan sarjana-sarjana Islam mengalami masa stagnasi. Perlahan kemudian surut dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya era kejayaan Islam di abad pertengahan.
Rekam Medis, Warisan RS Al-Nuri
Pada era keemasan Islam, ibu kota pemerintahan selalu berubah dari dinasti ke dinasti. Di setiap ibu kota pemerintahan, pastilah berdiri rumah sakit besar. Selain berfungsi sebagai tempat merawat orang-orang yang sakit (RS), rumah sakit juga menjadi tempat bagi para dokter Muslim mengembangkan ilmu medisnya. Konsep yang dikembangkan umat Islam pada era keemasan itu hinga kini juga masih banyak memberikan pengaruh.
RS terkemuka pertama yang dibangun umat Islam berada di Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Al-Walid dari Dinasti Umayyah pada 706 M. Namun, rumah sakit terpenting yang berada di pusat kekuasaan Dinasti Umayyah itu bernama Al-Nuri. Rumah sakit itu berdiri pada 1156 M, setelah era kepemimpinan Khalifah Nur Al-Din Zinki pada 1156 M. Pada masa itu, RS Al-Nuri sudah menerapkan rekam medis (medical record). Inilah RS pertama dalam sejarah yang menggunakan rekam medis. Sekolah kedokteran Al-Nuri juga telah meluluskan sederet dokter terkemuka, salah satunya adalah Ibn Al-Nafis – ilmuwan yang menemukan sirkulasi paru-paru. RS ini melayani masyarakat selama tujuh abad, dan bagiannya hingga kini masih ada.