`’Ilmu
kedokteran tak lahir dalam waktu semalam,” ujar Dr Ezzat Abouleish MD dalam
tulisannya berjudul Contributions of Islam to Medicine. Studi kedokteran
yang berkembang pesat di era modern ini merupakan puncak dari usaha jutaan
manusia, baik yang dikenal maupun tidak, sejak ribuan tahun silam.
Cikal
bakal ilmu medis sudah ada sejak dahulu kala. Sejumlah peradaban kuno, seperti
Mesir, Yunani, Roma, Persia, India, serta Cina sudah mulai mengembangkan
dasar-dasar ilmu kedokteran dengan cara sederhana. Orang Yunani Kuno
mempercayai Asclepius sebagai dewa kesehatan. Pada era ini, menurut penulis Canterbury
Tales, Geoffrey Chaucer, di Yunani telah muncul beberapa dokter atau tabib
terkemuka. Tokoh Yunani yang banyak berkontribusi mengembangkan ilmu kedokteran
adalah Hippocrates atau `Ypocras’ (5-4 SM). Dia adalah tabib Yunani yang
menulis dasar-dasar pengobatan. Selain itu, ada juga nama Rufus of Ephesus (1
M) di Asia Minor. Ia adalah dokter yang berhasil menyusun lebih dari 60 risalat
ilmu kedokteran Yunani. Dunia juga mengenal Dioscorides. Dia adalah penulis
risalat pokok-pokok kedokteran yang menjadi dasar pembentukan farmasi selama
beberapa abad. Dokter asal Yunani lainnya yang paling berpengaruh adalah Galen
(2 M). Ketika era kegelapan mencengkram Barat pada abad pertengahan,
perkembangan ilmu kedokteran diambil alih dunia Islam yang tengah berkembang
pesat di Timur Tengah. Menurut Ezzat Abouleish, seperti halnya lmu-ilmu yang
lain, perkembangan kedokteran Islam melalui tiga periode pasang-surut.
Periode
pertama dimulai dengan gerakan penerjemahan literatur kedokteran dari Yunani
dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga
ke-8 Masehi. Pada masa ini, sarjana dari Syiria dan Persia secara gemilang dan
jujur menerjemahkan litelatur dari Yunani dan Syiria kedalam bahasa Arab. Buah
pikiran para tabib di era Yunani Kuno secara gencar dialihbahasakan. Adalah
Khalifah Al-Ma’mun dari Diansti Abbasiyah yang mendorong para sarjana untuk
berlomba-lomba menerjemahkan literatur penting ke dalam bahasa Arab. Khalifah
pun menawarkan bayaran yang sangat tinggi, berupa emas, bagi para sarjana yang
bersedia untuk menerjemahkan karya-karya kuno. Sejumlah sarjana terkemuka ikut
ambil bagian dalam proses transfer pengetahuan itu. Tercatat sejumlah tokoh
seperti, Jurjis Ibn-Bakhtisliu, Yuhanna Ibn Masawaya, serta Hunain Ibn Ishak
ikut menerjemahkan literatur kuno. Selain melibatkan sarjana-sarjana Islam, tak
sedikit pula dari para penerjemahan itu yang beragama Kristen. Mereka
diperlakukan secara terhormat oleh penguasa Muslim.
Proses
transfer ilmu kedokteran yang berlangsung pada abad ke-7 dan ke-8 M membuahkan
hasil. Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang
begitu pesat. Sejumlah RS (RS) besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam, RS tak
hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga
menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru. Tak heran, bila penelitian dan
pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu medis baru. Era
kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan
berpengaruh di dunia kedokteran, hingga sekarang. `’Islam banyak memberi
kontribusi pada pengembangan ilmu kedokteran,” papar Ezzat Abouleish.
Sekolah
kedokteran pertama yang dibangun umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah
Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis
Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang
diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Era kejayaan Islam
telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi,
Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon.
Al-Razi
(841-926 M) dikenal di Barat dengan nama Razes. Pemilik nama lengkap Abu-Bakr
Mohammaed Ibn-Zakaria Al-Razi itu adalah dokter istana Pangeran Abu Saleh
Al-Mansur, penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi dokter
kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Salah satu buku kedokteran
yang dihasilkannya berjudul ‘Al-Mansuri’ (Liber Al-Mansofis). Ia menyoroti tiga
aspek penting dalam kedokteran, antara lain; kesehatan publik, pengobatan
preventif, dan perawatan penyakit khusus. Bukunya yang lain berjudul
‘Al-Murshid’ dan ‘Al-Hawi’. Buku yang terdiri dari 22 volume itu menjadi salah
satu rujukan sekolah kedokteran di Paris. Dia juga menulis tentang pengobatan
cacar air.
Tokoh
kedokteran lainnya adalah Al-Zahrawi (930-1013 M) atau dikenal di Barat
Abulcasis. Dia adalah ahli bedah terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh
pendidikan di Universitas Cordoba. Dia menjadi dokter istana pada masa Khalifah
Abdel Rahman III. Sebagain besar hidupnya didedikasikan untuk menulis buku-buku
kedokteran dan khususnya masalah bedah. Salah satu dari empat buku kedokteran
yang ditulisnya berjudul, ‘Al-Tastif Liman Ajiz’an Al-Ta’lif’ – ensiklopedia
ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku itu digunakan di Eropa hingga
abad ke-17. Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk mengendalikan pendarahan. Dia
juga menggunakan alkohol dan lilin untuk mengentikan pendarahan dari tengkorak
selama membedah tengkorak. Al-Zahrawi juga menulis buku tentang tentang operasi
gigi. Dokter Muslim yang juga sangat termasyhur adalah Ibnu Sina atau Avicenna
(980-1037 M). Salah satu kitab kedokteran fenomela yang berhasil ditulisnya
adalah Al-Qanon fi Al- Tibb atau Canon of Medicine. Kitab itu menjadi
semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang berisi satu juta kata.
Hingga abad ke-17, kitab itu masih menjadi referensi sekolah kedokteran di
Eropa.
Tokoh
kedokteran era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M).
Dokter kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi sarjana di di Eropa.
Kontribusinya dalam dunia kedokteran tercantum dalam karyanya berjudul ‘Al-
Kulliyat fi Al-Tibb’ (Colliyet). Buku itu berisi ramngkuman ilmu kedokteran.
Buku kedokteran lainnya berjudul ‘Al-Taisir’ mengupas praktik-praktik
kedokteran. Nama dokter Muslim lainnya yang termasyhur adalah Ibnu El-Nafis
(1208 – 1288 M). Ia terlahir di awal era meredupnya perkembangan kedokteran
Islam. Beberapa nama dokter Muslim terkemuka yang juga mengembangkan ilmu
kedokteran antara lain; Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang dokter yang terkemuka di
Spanyol; Ibnu Tufails tabib yang hidup sekitar tahun 1100-1185 M; dan
Al-Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi tumbuh-tumbuhan dari Spanyol dan
Afrika.
Setelah
abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan sarjana-sarjana Islam mengalami
masa stagnasi. Perlahan kemudian surut dan mengalami kemunduran, seiring
runtuhnya era kejayaan Islam di abad pertengahan.
Rekam Medis, Warisan RS Al-Nuri
Pada era keemasan Islam, ibu kota
pemerintahan selalu berubah dari dinasti ke dinasti. Di setiap ibu kota
pemerintahan, pastilah berdiri rumah sakit besar. Selain berfungsi sebagai
tempat merawat orang-orang yang sakit (RS), rumah sakit juga menjadi tempat
bagi para dokter Muslim mengembangkan ilmu medisnya. Konsep yang dikembangkan
umat Islam pada era keemasan itu hinga kini juga masih banyak memberikan
pengaruh.
RS terkemuka pertama yang dibangun
umat Islam berada di Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Al-Walid dari
Dinasti Umayyah pada 706 M. Namun, rumah sakit terpenting yang berada di pusat
kekuasaan Dinasti Umayyah itu bernama Al-Nuri. Rumah sakit itu berdiri pada
1156 M, setelah era kepemimpinan Khalifah Nur Al-Din Zinki pada 1156 M. Pada
masa itu, RS Al-Nuri sudah menerapkan rekam medis (medical record). Inilah RS
pertama dalam sejarah yang menggunakan rekam medis. Sekolah kedokteran Al-Nuri
juga telah meluluskan sederet dokter terkemuka, salah satunya adalah Ibn
Al-Nafis – ilmuwan yang menemukan sirkulasi paru-paru. RS ini melayani
masyarakat selama tujuh abad, dan bagiannya hingga kini masih ada.
0 komentar:
Posting Komentar