Joko Wi - Sosok Kecil dengan Ide
Besar
Wali Kota Solo ini sedang jadi
bintang hari-hari belakangan ini. Keputusannya menggunakan mobil buatan anak
SMK (Kiat Esemka) untuk tugas sehari-hari menggegerkan negeri ini. Namun
seperti apa sosok sebenarnya seorang Joko Widodo itu?
Tumbuh dari keluarga miskin yang
tinggal di daerah bantaran kali yang kumuh, membuatnya tumbuh menjadi seorang
pemimpin yang peka terhadap penderitaan dan berbagai problematika masyarakat
miskin. Terlebih ketika spirit itu berpadu dengan pengalamannya selama 23 tahun
bergelut di bidang ekspor, maka lahirlah berbagai kebijakan populis yang tak
hanya membela dan melindungi kepentingan masyarakat bawah, tetapi juga berhasil
menggeser paradigma jajaran pemerintahan kota yang dipimpinnya secara
revolusioner.
Anak pertama dari empat bersaudara
yang lahir dari pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi ini, sekolah SD sampai SMA
di kota Solo. Kemudian melanjutkan kuliah bidang teknologi kayu di UGM,
Yogyakarta. Setelah lulus kuliah ia sempat bekerja di Aceh selama 2 tahun,
sebelum akhirnya mulai merintis usaha di kota kelahirannya. "Saya memulai
usaha dari minus, bukan dari nol. Pelan-pelan merintis. Ya sekarang masih
kecil, tapi paling tidak produksi yang kami hasilkan sudah diekspor,"
kisahnya.
Semula ia mengaku tak berniat
mencalonkan diri menjadi wali kota. Perhatiannya selama ini hanya tersita untuk
urusan usaha yang telah dirintisnya. Sampai suatu ketika, ia merasa prihatin
atas perkembangan dan pembangunan kota kelahirannya yang dirasa berhenti di
tempat. "Saya melihat kok tidak semakin baik, tapi malah semakin turun dan
semakin tidak baik. Sehingga saya merasa tergelitik, saya pikir mengelola kota
itu apa sulitnya, sih?"
Pemikiran sederhana itulah yang
membuat Joko Wi merasa tertantang. "Tapi saya juga tidak serius-serius
amat, karena saya juga merasa tidak terkenal. Jadi boleh dibilang, menjadi wali
kota ini bagi saya seperti sebuah kecelakaan," kelakarnya.
Tapi ketika akhirnya ia betul-betul
terpilih menjadi orang nomor satu di jajaran pemerintahan Kota Solo, maka Joko
Wi segera "mendiagnosa" berbagai penyakit yang membonsai pertumbuhan
kotanya. Lalu apa yang ia temukan? "Saya kira masalah yang pertama adalah
tak adanya leadership. Dan yang kedua adalah problem di sistem
manajemennya. Karena ketika saya hidup di ekspor selama 23 tahun, ada tiga hal
yang ‘tidak boleh tidak' harus dipenuhi; yaitu, yang pertama masalah Quality [kualitas]. Kedua,
masalah Price [harga]. Artinya kita harus selalu efisien, sehingga
harga kita bisa kompetitif. Dan yang ketiga, adalah masalah On time
delivery [ketepatan waktu pengiriman]. Ketiga hal ini saya kira sangat
bepengaruh sekali dalam pengelolaan kepemerintahan dan pengelolaan sebuah kota,
khususnya mempengaruhi kebijakan atau policy yang saya ambil,"
paparnya. Sungguh luar biasa! (majalahluarbiasa.com)
0 komentar:
Posting Komentar