NGE- BRANDING ISLAM
oleh : Eri
Rindaningsih
Mungkin beberapa di antara kita masih
ingat cerita tentang bagaimana proses Dr. M. Syafi’i Antonio, M.Ec, salah satu
tokoh Ekonomi Syariah, memeluk Islam. Hal yang menarik adalah ketika sang ayah
memberikan kebebasan kepada anggota keluarganya untuk memilih agama apa saja,
kecuali Islam! Sikap ayahnya ini ternyata berangkat dari image negatif terhadap
Umat Islam. Gambaran buruk
tentang kaum muslimin dalam benak ayah Syafi'i ini terutama adalah banyaknya
Umat Islam yang berada dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Selain
itu, kejahatan seperti korupsi bahkan sampai mencuri sandal di masjid pun
dilakukan oleh Umat Islam sendiri.
Itu di dalam negeri.
Bagaimana dengan image Islam di luar negeri? Jangan tanya, lebih parah lagi.
Kita semua sering dibuat miris oleh nasib saudara- saudara kita di Amerika,
Eropa, dan benua dimana Umat Islam menjadi minoritas, mereka dizalimi, disakiti
karena di sana sudah terlalu dalam stereotype bahwa muslim sama dengan teroris.
Apa
yang salah? Kita semua sepakat (termasuk Ayahanda Bapak Syafi’i yang melarang
anaknya masuk Islam) bahwa Islam adalah ajaran, sistem, din yang terbaik. Islam
memiliki sistem nilai yang sangat lengkap dan komprehensif, agama yang dapat
menjawab segala macam persoalan hidup sepanjang zaman. Pendek kata, Islam is
the best way of life. Jadi? Yup, istilah seperti “Islam KTP” rasanya sudah
cukup untuk menjawab pertanyaan itu. Islam ajaran yang sempurna, namun pemeluk-
pemeluknya sama sekali tidak mencerminkan kesempurnaan ajaran agamanya itu.
Keindahan Islam dinodai oleh perilaku umat yang tidak baik.
Islam
memang pernah mengalami masa- masa keemasan. Umat Islam menghasilkan banyak
kontribusi terhadap perkembangan teknologi dan kebudayaan, baik dengan menjaga
tradisi yang telah ada ataupun dengan menambahkan penemuan dan inovasi mereka
sendiri di semua bidang, filsafat, sains, kedokteran, ekonomi, politik, dll.
Hei, tapi sadar guys, itu ribuan tahun lalu! Kita selalu membanggakan masa
kejayaan Islam yang telah lampau, tapi lalai bagaimana dengan kita sekarang?
Apa kita akan terus terlena dalam memori indah itu namun tanpa terasa kita
sendiri terus tergilas dengan berbagai image buruk yang melekat karena tidak
melakukan apa- apa untuk mengembalikan kejayaan itu? Penggalan hadist “Suatu
saat Umat Islam bagaikan buih di lautan” tidak jarang menjadi pembenar atas
sikap pasif kita karena menganggap kondisi tersebut sebagai suatu keniscayaan,
apapun ikhtiyar kita toh kita nanti memang sudah ditakdirkan seperti itu. Salah
besar! Itu bukan ramalan, tapi peringatan! Peringatan bahwa kalau kita malas,
nasib kita akan seperti buih, banyak tapi tidak berkualitas.
Mau
berkelit seperti apa lagi? Sudahlah, saatnya kita bangun, bangkit, introspeksi,
membenahi diri, kita implementasikan ajaran Ilahi secara kaffah, all out, no
reserve. Amar ma’ruf nahi munkar. Kita penuhi media dengan prestasi kita, kita
jawab tudingan- tudingan miring dan kebencian musuh Allah dengan karya- karya
besar dan akhlak mulia kita. Kita ingin seperti apa brand Islam? Seperti apa
muslim dikenal? Apakah Umat Islam yang identik dengan kemiskinan, kumuh,
korupsi, kyai dengan istri banyak, teroris, perang saudara? Ataukah muslim yang
identik dengan kesantunan, akhlakul karimah, perdamaian, prestasi, kemajuan?
Semua tergantung kita.
Bisakah kita perbaiki dari
sekarang?
Stay optimistic, Muslim could be better if you really
want to. Change it.
0 komentar:
Posting Komentar