DARI SEPULUH RIBU
RUPIAH…
Menjelang shalat
Isya, seorang wartawan duduk kelelahan di halaman sebuah masjid. Perutnya
bertalu-talu karena keroncongan. Kepalanya clingak-clinguk mencari penjual
makanan, tapi tak kunjung menemukannya. Dari wajahnya, tampak gurat-gurat
kekecewaan.
Usut punya usut, si wartawan
ini tengah kecewa berat karena gagal bertemu dengan seorang tokoh yang hendak
diwawancarai. Betapa tidak kecewa, sejak siang hari dia sudah “mengejar-ngejar”
tokoh tersebut. Siang hari, mereka bikin janji bertemu di sebuah kantor.
Beberapa saat sebelum
waktu pertemuan itu berlangsung, tokoh penting ini mendadak membatalkan janji,
ada acara mendadak katanya. Militansinya sebagai seorang wartawan untuk
mendapatkan berita telah membuat pria muda ini mendatangi hotel tempat si pejabat
meeting. Dua jam lamanya, dia menunggu. Namun sial, si pejabat itu keluar dari
pintu samping hotel sehingga tidak sempat bertemu sang wartawan.
Tidak mau patah arang,
dia segera mencari tahu di mana keberadaan pejabat itu. Dia pun mendapatkan
informasi bahwa orang yang dicarinya itu sudah pulang ke rumahnya di sebuah
kompleks perumahan elite. Tanpa banyak berpikir, sang wartawan tancap gas.
Dengan motornya yang sudah agak butut, dia mendatangi perumahan tersebut. Walau
harus tanya sana-tanya sini, akhirnya dia bisa sampai ke rumah si Pejabat.
“Aduh maaf, Mas,
Bapaknya barusan pergi lagi. Ada pertemuan lagi katanya. Tapi, Bapak nggak
bilang di mananya,” kata si penghuni rumah.
Lunglailah kaki si wartawan.
Dia pun pergi. Berkali-kali dia coba mengontak si pejabat, tetapi berkali-kali
pula ponselnya tidak diangkat. Sudah terbayang di benaknya kalau nanti malam
dia akan ditegur atasannya karena tidak mampu mendapatkan berita. Perutnya yang
keroncongan seakan menambah derita.
Saat duduk di masjid
itulah, dia melihat seorang kakek yang baru saja selesai menunaikan shalat
maghrib. Dipandanginya kakek itu. Penampilannya sangat tidak meyakinkan:
tinggi, kurus, jambang putihnya tidak terurus, pakaiannya sangat sederhana dan
sudah luntur warnanya, sandal jepitnya pun sudah butut.
Kakek itu menghampiri
sebuah onggokan kayu bakar. Lalu, mengambil topi dan duduk melepas lelah tak
jauh dari tempat si wartawan. Kerutan wajahnya yang hitam terbakar matahari
seakan tampak makin mengerut karena kelelahan.
“Cep, peryogi suluh henteu? Peserlah suluh anu
Bapa, ieu ti enjing-enjing teu acan pajeng!” kata Pak Tua kepada si Wartawan. Maksudnya, dia menawarkan kayu
bakar yang dibawanya karena sejak dari pagi tidak laku-laku.
“Punten Bapa, abdi di bumi teu nganggo suluh (Maaf Bapak, saya di rumah tidak menggunakan
kayu bakar),” jawabnya.
“Oh muhun, teu sawios. Mangga atuh, Bapa
tipayun, (Oh iya, nggak
apa-apa. Kalau begitu permisi, Bapak duluan),” ujar Pak Tua penjual kayu bakar
itu.
Sebelum Pak Tua itu
pergi, si wartawan segera mengambil dompet. Dilihatnya hanya ada uang sepuluh
ribu, satu-satunya, plus beberapa keping uang receh. Itulah hartanya yang
tersisa pada hari itu untuk makan dan membeli bensin. Namun, semua itu dia
abaikan. Dia berikan uang sepuluh ribu itu kepada Pak Tua. Walau awalnya
menolak, tapi akhirnya dia menerimanya pula.
Sambil menahan tangis
haru, Pak Tua berkata, “Hatur nuhun
Kasep, tos nulungan Bapak. Mugi-mugi Gusti Alloh ngagentosan kunu langkung
ageung (Terima kasih, Cakep, sudah menolong Bapak, semoga Gusti Allah
menggantinya dengan yang lebih besar).” Ternyata, bapak ini sejak pagi belum
makan dan tidak punya uang untuk pulang.
Selembar sepuluh ribu
telah mengubah segalanya. Dia telah sudi memasukkan rasa bahagia kepada
saudaranya yang tengah kesusahan, Allah SWTpun langsung membalasnya dengan
memasukkan rasa bahagia yang berlipat-lipat ke dalam hatinya.
Rasa lapar, penat, dan
hati dongkol yang sebelumnya mendominasi dirinya langsung hilang sirna berganti
kelapangan dan kebahagiaan. Uang sepuluh ribu itu benar-benar memberikan
kepuasan yang sensasinya sulit terlupakan. Dia tidak bisa berkata apa-apa
selain dari tetesan air mata bahagia. “Terima kasih, ya Allah, engkau telah
memberiku rezeki sehingga bisa berbagi,” gumamnya.
Tak lama kemudian,
datanglah karunia yang kedua. Ponselnya tiba-tiba berbunyi, dilihatnya sebuah
pesan dari atasannya kalau dia tidak perlu lagi mengejar si pejabat karena ada
narasumber lain yang lebih kompeten yang siap diwawancara seorang rekannya. Dia
hanya memberi penugasan untuk meliput sebuah acara syukuran di salah satu hotel
berbintang.
Karunia Allah yang
ketiga pun segera datang. Di sela-sela acara liputan di hotel itu, sang wartawan
dipersilahkan oleh panitia untuk menikmati hidangan mewah yang tersedia sepuasnya.
Menjelang pulang, dia mendapatkan sebuah doorprize dan beberapa buah bingkisan
sebagai ucapan terima kasih dari pihak penyelenggara. “Malam yang indah …,”
ujarnya. ***
0 komentar:
Posting Komentar